Sebelum membaca artikel ini sebaiknya kita sama-sama
menghilangkan prasangka buruk atau berfikir negatif tentang budaya. Fikiran
yang sudah dirasuki pemahaman negatif terhadap hubungan agama dan budaya takkan
mampu menelaah pemikiran dan pemahaman baru tentang sisi positif hubungan agama
dan budaya.
Selikuran (21 Ramadhan) menurut masyarakat jawa memiliki
nilai/arti yang spesial. Tradisi
malam selikuran (21 Ramadhan) adalah tradisi budaya sekaligus religius (agama) yang syarat
dengan makna. Tentunya hal ini sangat istimewa, karena kita dapat melihat
banyak nilai-nilai positif yang ada dalam peringatan selikuran tersebut.
Berikut beberapa analisa positif “selikuran” baik di tinjau dari sudut pandang
agama maupun budaya :
1.
“Selikuran” 21 Ramadhan menurut ajaran Islam dimaknai istimewa
karena 21 Ramadhan menurut sejarah islam awal Rasulullah Saw memulai beri’tikaf (I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri
yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf
berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan
di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan
sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr) di sepuluh hari terkahir bulan
Ramadan, Nabi Saw bersabda, "Carilah malam Lailatul Qadar di (malam
ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (Bukhari dan Muslim). Dan
Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sesuai yang
ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah kami
mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut”
(Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi
Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui budaya
Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam pada masa
itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.
2.
Budaya masyarakat Jawa “Selikuran” diperingati dengan cara yang
unik. Masyarakat Jawa memperingati “Selikuran” dengan acara kenduri
bersama-sama (Sebaiknya sebelum melanjutkan membaca dan berkomentar tidak
berfikir negatif dulu). Di dalam tradisi kenduri ini terdapat beberapa nilai
positif yang bisa kita ambil hikmahnya diantaranya :
a. Silaturahmi dan Kebersamaan ; masyarakat Jawa melaksanakn
kenduri dibalai pertemuan (balai desa, balai dusun, balai RW) atau di rumah
tokoh masyarakat / sesepuh. Kalau masyarkat yang tidak melakukan kegiatan kenduri berapa kali setahun bisa bersilaturahmi dengan seluruh tetangga satu padukuhan / RT / RW?
b. Bersedekah
: Makanan yang telah disiapkan dari rumah dikumpulkan jadi satu dan sebagian
diberikan kepada ustadz / modin / kaum / tkoh masyarakat dan juga untuk takjil.
c.
Berbagi
rasa : Kenduri yang dibuat pada peringatan selikuran ini menunya biasa (tidak dilebih-lebihkan) hanya
nasi, sayur Lombok, tahu, tempe, mie dan kupuk. Makanan sederhana ini kemudian
dikumpulkan jadi satu dan dicampur kemudian dibagikan lagi ke warga. Banyak rasa
dalam masakan jadi satu.
d.
Doa
Bersama : diakhiri acara kenduri juga dilaksanakan doa bersama dengan cara
islam. Doa yang dipanjatkan untuk kelancaran puasa, harapan lailatul qodar,
serta shalawat untuk rasulullah.
3.
Masyrakat
Jawa juga memperingati “selikuran” dengan cukur rambut (budaya ini memang sudah
jarang dilakukan, kecuali masyarakat jawa yang sudah berusia lanjut masih
melakukannya) cukur rambut bermakna menyambut hari kemenangan ditandai dengan
penampilan yang baru dan bersih serta terawat.
Memaknai setiap budaya harusnya memang
adil dari segi positif dan negative, jangan sampi pandangan yang salah terhadap
pemahaman budaya kemudian menjadi sebuah “penghakiman” musrik atau kafir suatu
agama. Banyak nilai-nilai positif yang bisa diambil dari sebuah budaya, karena
budaya itu diciptakan dengan berbagai pertimbangan filosofi dan nilai-nilai
kehidupan.