Minggu, 26 Agustus 2012

Sejarah dan Asal Usul Air Terjun Sri Getuk

Salah satu primadona Wisata di Gunungkidul adalah Air terjun Sri gethuk. Air Terjun Sri Getuk terletak di padukuhan Menggoran, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Berada di sebelah barat daya kota Wonosari berjarak kurang lebih 10 Km. yang berdekatan dengan lokasi Wisata Goa Rancang Kencono, dengan arah dari Gua rancang kencono menuju kearah barat sejauh 500 meter, perjalanan menuju ke arah air terjun dapat ditempuh dengan jalan kaki melewati pematang sawah ataupun naik perahu kataraf. Air terjun Sri Gethuk terkenal dengan nama Air Terjun Slempret karena lokasi air terjun tersebut bertempat di lokasi blok Slempret, tempat tersebut sangatlah indah karena adanya air terjun yang diapit oleh tebing yang sangat tinggi bahkan tebing tersebut dengan ketinggian sampai dengan 50 m dengan suasana yang sangat romantis karena di daerah tersebut merupakan daerah sawah yang sepanjang tahun tidak pernah mengalami kekeringan, berbanding terbalik dengan kondisi kampung disekitar blok Slempret yang kering dan tandus.  dAir Terjun Sri Getuk berasal dari 3 sumber mata air yang cukup besar ; Sumber mata air dong Poh, Ngandong dan Ngumbul dengan rata – rata debit 30 s/d 60 l/dtk, sehingga di lokasi tersebut seperti di daerah ngarai, 
Menurut cerita legenda nama slempret sebenarnya adalah berasal dari kata Slompret yang merupakan alat musik tiup konon cerita bahwa lokasi tersebut adalah merupakan tempat atau pusatnya para jin/ makhluk halus yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata atau dapat di katakan bahwa tempat tersebut adalah merupakan tempat yang sangat angker dengan nama pimpinan para jin tersebut adalah jin Anggo Menduro. Jin adalah merupakan jin ini sangat menyukai dengan berbagai kesenian, hal tersebut dapat di buktikan bahwa di tempat tersebut pada saat – saat tertentu akan terdengar suara atau disebut dengan bahasa jawa pandulon yang suara tersebut kalau di dengarkan di lokasi padukuhan Menggoran dan sekitarnya berasal dari lokasi air terjun tetapi kalau didekati suara itu akan hilang , suara tersebut adalah suara rebana atau gamelan tetapi suara yg dominan adalah suara slompret maka tempat tersebut di kenal sebagai sebutan Slompret atau kemudian di sebut Slempret maka yang terkenal sampai dengan saat ini lokasi tersebut dengan Air terjun Slempret karena air tersebut berada di lokasi daerah Slempret.

Namun sebenarnya Air terjun tersebut bernama air tejun Sri Gethuk
Seperti pada cerita di awal bahwa tempat tersebut adalah merupakan pusatnya para jin yang di dalamnya sebagi pimpnannya adalah Jin Angga Manduro jin yang sangat suka dengan segala kesenian yang diantaranya adalah rebana dan juga Gamelan, Dalam cerita legenda Gamelan ini juga dapat dipinjam oleh manusia yang mempunyai kemampuan lebih dan juga dapat di manfaatkan untuk tabuan selayaknya gamelan biasa yang dapat kasat mata,
Dalam cerita legenda di lokasi wisata Slempret tersebut ada beberapa tempat untuk menyimpan gamelan milik Anggo Menduro di antaranya lokasi mergangsan dan juga Sri Kethuk, Mergangsan ini berada di sebelah bawah lokasi sungai Oya tempat tersebut disebut Mergangsan karena di pergunakan sebagai tempat menyimpan Gongso atau Gamelan, dan Sri Kethuk berada di lokasi air terjun tempat tersebut di sebut Sri Kethuk karena dipergunakan oleh Jin Anggo Menduro sebagai tempat penyimpanan salah satu instrumen gamelan dengan nama Getuk. Hingga kini nama tersebut menjadi Sri Gethuk.
Paket Wisata Desa Wisata Bleberan : 
HTM (Goa Rancang Kencono + Air Terjun Sri Getuk) : Rp. 5.000,00/orang
Naik Perahu : Rp. 10.000,00/orang (dewasa), Anak-anak Rp. 3.000,00
Sewa Pelampung : Rp. 5.000,00/pcs

Kamis, 09 Agustus 2012

Memaknai Selikuran (21 Ramadhan) Memadukan Agama dan Budaya



Sebelum membaca artikel ini sebaiknya kita sama-sama menghilangkan prasangka buruk atau berfikir negatif tentang budaya. Fikiran yang sudah dirasuki pemahaman negatif terhadap hubungan agama dan budaya takkan mampu menelaah pemikiran dan pemahaman baru tentang sisi positif hubungan agama dan budaya.
Selikuran (21 Ramadhan) menurut masyarakat jawa memiliki nilai/arti yang spesial. Tradisi malam selikuran (21 Ramadhan) adalah tradisi budaya sekaligus religius (agama) yang syarat dengan makna. Tentunya hal ini sangat istimewa, karena kita dapat melihat banyak nilai-nilai positif yang ada dalam peringatan selikuran tersebut. Berikut beberapa analisa positif “selikuran” baik di tinjau dari sudut pandang agama maupun budaya :
1.     “Selikuran” 21 Ramadhan menurut ajaran Islam dimaknai istimewa karena 21 Ramadhan menurut sejarah islam awal Rasulullah Saw memulai beri’tikaf (I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr) di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, Nabi Saw bersabda, "Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (Bukhari dan Muslim). Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut” (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.
2.    Budaya masyarakat Jawa “Selikuran” diperingati dengan cara yang unik. Masyarakat Jawa memperingati “Selikuran” dengan acara kenduri bersama-sama (Sebaiknya sebelum melanjutkan membaca dan berkomentar tidak berfikir negatif dulu). Di dalam tradisi kenduri ini terdapat beberapa nilai positif yang bisa kita ambil hikmahnya diantaranya :
a.   Silaturahmi dan Kebersamaan ; masyarakat Jawa melaksanakn kenduri dibalai pertemuan (balai desa, balai dusun, balai RW) atau di rumah tokoh masyarakat / sesepuh. Kalau masyarkat yang tidak melakukan kegiatan kenduri berapa kali setahun bisa bersilaturahmi dengan seluruh tetangga satu padukuhan / RT / RW?
b.  Bersedekah : Makanan yang telah disiapkan dari rumah dikumpulkan jadi satu dan sebagian diberikan kepada ustadz / modin / kaum / tkoh masyarakat dan juga untuk takjil.
c.     Berbagi rasa : Kenduri yang dibuat pada peringatan selikuran ini menunya biasa (tidak dilebih-lebihkan) hanya nasi, sayur Lombok, tahu, tempe, mie dan kupuk. Makanan sederhana ini kemudian dikumpulkan jadi satu dan dicampur kemudian dibagikan lagi ke warga. Banyak rasa dalam masakan jadi satu.
d.    Doa Bersama : diakhiri acara kenduri juga dilaksanakan doa bersama dengan cara islam. Doa yang dipanjatkan untuk kelancaran puasa, harapan lailatul qodar, serta shalawat untuk rasulullah.
3.     Masyrakat Jawa juga memperingati “selikuran” dengan cukur rambut (budaya ini memang sudah jarang dilakukan, kecuali masyarakat jawa yang sudah berusia lanjut masih melakukannya) cukur rambut bermakna menyambut hari kemenangan ditandai dengan penampilan yang baru dan bersih serta terawat.
Memaknai setiap budaya harusnya memang adil dari segi positif dan negative, jangan sampi pandangan yang salah terhadap pemahaman budaya kemudian menjadi sebuah “penghakiman” musrik atau kafir suatu agama. Banyak nilai-nilai positif yang bisa diambil dari sebuah budaya, karena budaya itu diciptakan dengan berbagai pertimbangan filosofi dan nilai-nilai kehidupan.