Kamis, 09 Agustus 2012

Memaknai Selikuran (21 Ramadhan) Memadukan Agama dan Budaya



Sebelum membaca artikel ini sebaiknya kita sama-sama menghilangkan prasangka buruk atau berfikir negatif tentang budaya. Fikiran yang sudah dirasuki pemahaman negatif terhadap hubungan agama dan budaya takkan mampu menelaah pemikiran dan pemahaman baru tentang sisi positif hubungan agama dan budaya.
Selikuran (21 Ramadhan) menurut masyarakat jawa memiliki nilai/arti yang spesial. Tradisi malam selikuran (21 Ramadhan) adalah tradisi budaya sekaligus religius (agama) yang syarat dengan makna. Tentunya hal ini sangat istimewa, karena kita dapat melihat banyak nilai-nilai positif yang ada dalam peringatan selikuran tersebut. Berikut beberapa analisa positif “selikuran” baik di tinjau dari sudut pandang agama maupun budaya :
1.     “Selikuran” 21 Ramadhan menurut ajaran Islam dimaknai istimewa karena 21 Ramadhan menurut sejarah islam awal Rasulullah Saw memulai beri’tikaf (I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr) di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, Nabi Saw bersabda, "Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (Bukhari dan Muslim). Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut” (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.
2.    Budaya masyarakat Jawa “Selikuran” diperingati dengan cara yang unik. Masyarakat Jawa memperingati “Selikuran” dengan acara kenduri bersama-sama (Sebaiknya sebelum melanjutkan membaca dan berkomentar tidak berfikir negatif dulu). Di dalam tradisi kenduri ini terdapat beberapa nilai positif yang bisa kita ambil hikmahnya diantaranya :
a.   Silaturahmi dan Kebersamaan ; masyarakat Jawa melaksanakn kenduri dibalai pertemuan (balai desa, balai dusun, balai RW) atau di rumah tokoh masyarakat / sesepuh. Kalau masyarkat yang tidak melakukan kegiatan kenduri berapa kali setahun bisa bersilaturahmi dengan seluruh tetangga satu padukuhan / RT / RW?
b.  Bersedekah : Makanan yang telah disiapkan dari rumah dikumpulkan jadi satu dan sebagian diberikan kepada ustadz / modin / kaum / tkoh masyarakat dan juga untuk takjil.
c.     Berbagi rasa : Kenduri yang dibuat pada peringatan selikuran ini menunya biasa (tidak dilebih-lebihkan) hanya nasi, sayur Lombok, tahu, tempe, mie dan kupuk. Makanan sederhana ini kemudian dikumpulkan jadi satu dan dicampur kemudian dibagikan lagi ke warga. Banyak rasa dalam masakan jadi satu.
d.    Doa Bersama : diakhiri acara kenduri juga dilaksanakan doa bersama dengan cara islam. Doa yang dipanjatkan untuk kelancaran puasa, harapan lailatul qodar, serta shalawat untuk rasulullah.
3.     Masyrakat Jawa juga memperingati “selikuran” dengan cukur rambut (budaya ini memang sudah jarang dilakukan, kecuali masyarakat jawa yang sudah berusia lanjut masih melakukannya) cukur rambut bermakna menyambut hari kemenangan ditandai dengan penampilan yang baru dan bersih serta terawat.
Memaknai setiap budaya harusnya memang adil dari segi positif dan negative, jangan sampi pandangan yang salah terhadap pemahaman budaya kemudian menjadi sebuah “penghakiman” musrik atau kafir suatu agama. Banyak nilai-nilai positif yang bisa diambil dari sebuah budaya, karena budaya itu diciptakan dengan berbagai pertimbangan filosofi dan nilai-nilai kehidupan.

2 komentar: